Mungkin belum banyak yang tahu bahwa awalnya Detik.com
merupakan proyek pribadi sebuah perusahaan penyedia jasa konsultasi,
pengembangan, dan pengelolaan web bernama: Agranet Multicitra Siberkom
(Agrakom). Perusahaan ini didirikan oleh Budiono Darsono bersama beberapa
rekannya yang sebagian besar berlatar belakang Jurnalis, pada masa awal Agrakom
berkantor di perkantoran Stadion Lebak Bulus. Pada tahun 1993 internet mulai
menjamur di Indonesia dan Agrakom termasuk salah satu pelopor Industri konten
IT yang menarget pasar Internet kala itu.
Namun, krisis moneter 1997 sempat membuat Agrakom terpuruk.
Menghadapi kondisi tersebut, kemudian Budiono Darsono (eks Wartawan DeTik),
Yayan Sofyan (eks Wartawan DeTik), Abdul Rahman (eks Wartawan Tempo) dan Didi
Nugrahadi (tetangga rumah Budiono yang tinggal di Pamulan Tangerang) memutar
otak mencari konsep jasa web baru yang tetap laku dalam situasi krisis.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk membuat situs berita yang cepat terupdate
dalam hitungan menit, bernama: Detik.com.
Ada ceita menggelikan yang senantiasa membanggakan Budiono
Darsono bila mengenang awalawal merintis Detikcom. Adalah seorang komandan
militer di Jakarta yang sangat membutuhkan berita terbaru di saat kegentingan melanda Ibu Kota setelah Soeharto
lengser. “Coba tolong carikan detikcom,
ada berita penting di situ!” perintahnya
kepada bawahan.
“Siap. Laksanakan Komandan,” jawab prajurit dengan sigap
lalu lari terbiritbirit mencari detikcom. Disetiap perempatan jalan, dia
berhenti dan menanyakankepada loper koran. “Ada Detikcom nggak?”
Prajurit itu memperoleh jawaban yang sama padasemua loper
koran yang dijumpainya. “Tidak ada,”dan tidak tahu, apa itu Detikcom. Mungkin
dipikirnyamedia yang diinginkan komandannya itu sangat laris,prajurit itu
menuju agen koran, tetapi kemudian tetap
mendapatkan jawaban yang sama.
Setelah putus asa, prajurit itu kembali dengan tangan hampa
dan melapor pada komandannya, “Lapor komandan, Detikcom habis!”
Ini adalah satu dari sekian banyak kisah lucu awal mula
detikcom berdiri. Terjadi pasca tergulingnya Soeharto dari kursi kepresidenan
pada Mei 1998 yang menimbulkan kondisi genting, huruhara dan rumor di
manamana. Banyak orang waswas dan menunggu apa
yang akan terjadi dengan negara ini lewat beritaberita di
media esok hari. Koran, majalah, tabloid, selebaran muncul bak cendawan di
musim hujan. Pada saat itu, kata “internet” bagi kebanyakan orang memang lebih
dekat pengertiannya ke “eternit”—plafon atap rumah!.Sebaliknya, bagi sedikit
orang yang melek teknologi, beritaberita pendek Detikcom terus dipantau.
Situs berita Detikcom awalnya adalah proyek pribadi sebuah
perusahaan penyedia jasa konsultasi, pengem bangan, dan pengelolaan web,
Agranet Multicitra Siberkom—disingkat Agrakom—untuk menghindari ke bangkrutan
saat krisis ekonomi 1997. Agrakom, seperti
banyak perusahaan lain, juga menghadapi per soalan. Order
jasa web site terhenti, sementara proyekproyek e-commerce yang sudah di tangan
ditunda oleh klien. Programmer-programmer bergaji mahal meng anggur. Padahal,
Agrakom baru berdiri dua tahun dengan investasi lumayan serius pada Oktober
1995. Dia termasuk salah satu pelopor industri bermuatan teknologi tinggi yang
menyasar kue internet yang mulai dikenal di Indonesia
pada 1993. Agrakom sempat beberapa kali mengecap manisnya
kue bisnis itu dari beberapa klien besar seperti Kompas Gramedia yang
meluncurkan Kompas Cyber Media untuk berita koran versi internet, dan sejumlah
situs perusahaan seperti United Tractors, World Bank,
dan Ciputra Group. Tetapi krisis membuyarkan semua impian.
Pendirinya adalah sejumlah wartawan, Budiono Darsono (eks
wartawan DeTik), Yayan Sopyan (eks wartawan DeTik), Abdul Rahman (mantan
wartawan Tempo), dan Didi Nugrahadi (bukan wartawan, tetapi Bagian 2 –
Orang-Orang Spesial; Para tetangga rumah Budiono yang tinggal di Pamulang,
Tangerang). Empat sekawan ini berpikir keras mencari konsep jasa web baru yang
tetap laku dalam situasi krisis. Ada cerita lain, bahwa ide ini sebetulnya
adalah paket layanan baru dan pernah ditawarkan kepada salah satu penerbit
koran besar, namun ditolak. Klien itu justru menyarankan agar Budiono dan
kawankawannya
menggarapnya sendiri.
Dari serangkaian pertemuan, nongkrong di berbagaitempat,
akhirnya konsep itu ditemukan. Yaitu sebuah media yang 100% berbasis internet
dan memanfaatkan semaksimal mungkin keunggulannya—tersedia setiap saat dan
interaktif. Namun, gagasan ini masih prematur,
karena Budiono dan kawankawan masih bingung seperti apa
wujudnya.
Terdapat beberapa alternatif matang dan tinggal menjiplak saja. Misalnya memanfaatkan pengetahuan
umum netter—pengguna internet—lokal yang ketika membuka internet, pastinya
menuju halaman Yahoo!, atau sekadar emailemail gratisan lain. Akan tetapi,
pilihan yang ada itu sama sekali tidak mungkin dilakukan, lantaran empat
sekawan ini sebetulnya lebih unggul di bidang jurnalistik daripada teknologi.
Mungkin insting jurnalistiklah yang kemudian menyadarkan mereka ada potensi
besar dari sebuah teknologi world wide web yang dikawinkan dengan
beritaberita. Mereka berkesimpulan harus menawarkan sesuatu yang tak ada di
tempat lain, yang khas Indonesia. Pilihannya jatuh kepada situs yang
menyediakan beritaberita hebat, susulmenyusul dalam hitungan detik, bukan
lagi harian seperti koran. Budiono sangat yakin orangorang sedang membutuhkan
berita macam begini. Gagasan itu sepertinya mencontek gaya breaking news
televisi CNN tetapi ala internet. Sama juga seperti Yahoo! yang sebetulnya
sudah memakai konsep itu dengan berita update langganan dari pelbagai kantor
berita. Sayangnya, mesin pencari ini masih berbahasa Inggris. Berapa sih yang
menguasai bahasa Inggris di Indonesia?
Bagaimana Detik.com mencari berita ?
Budiono mengaku mulanya adalah gampanggampang susah. Dari
sisi keunikan memang unik. Jangankan di
Indonesia, di seluruh dunia pun waktu itu tidak ada portal macam itu, kata dia.
Mulamula, Budiono menjabat sebagai pemimpin redaksi sekaligus reporter
dengan satu tape recorder. Lalu merekrut beberapa reporter,
sembari rajin menelepon bekas temanteman wartawan di media lain untuk
‘menyumbang’ berita. Beritanya tidak panjangpanjang, cukup sepenggal saja.
Orang yang sering ‘diteror’ Budiono adalah A Sapto
Anggoro, redaktur di harian Republika, yang kerap memberi
info baru di lapangan kepadanya. Tidak lama,Sapto justru keluar dari koran itu
dan bergabung—sekarang tercantum sebagai dewan redaksi Detikcom.Delapan hari
setelah Soeharto lengser, 30 Mei 1998,server Detikcom sudah siap diakses, namun
baru mulaion line dengan sajian lengkap pada 9 Juli 1998. Beritaberitanya
segar, anyar, dan terusmenerus diperbaruidalam hitungan detik—itulah mengapa
dipakai namaDetik. Desain website berbalut warna khas yang agak
norak, hijau, biru, dan kuning. Warna ini sampai sekarang
dipertahankan sebagai trademark. Baru sebulan,ada sekitar 15.000 hits alias
yang mengkli situs baruitu. Perkiraan itu akhirnya terbukti karena dalam
waktusingkat Detikcom menjadi sangat dicari. Satu tahunkemudian, jumlah
pengunjungnya meledak hingga50.000 orang per hari—sebuah pencapaian luar biasa
menimbang pengguna internet yang baru sedikit saat itu.
Banyak cerita yang mengungkapkan betapa sulitnyapara
wartawan Detikcom menyajikan beritaberita itutepat waktu itu. Belum ada gadget
macam blackberry,atau smarthphone yang bisa mengirimkan email beritadengan
sekali pencet. Telepon genggam (handphone), Bagian 2 – Orang-Orang Spesial;
Para Pionir apalagi PDA dan smartphone 11 tahun yang lalu amat mahal, dan
terbatas. Satusatunya jalan adalahmemanfaatkan telepon umum dan setiap pagi
para kulitinta Detikcom terlebih dulu diwajibkan untuk masukke kantor mengambil
beberapa kantung uang recehan.Yang terjadi adalah antrean panjang telepon umum
danpara wartawan itu sering kena omel para penggunatelepon. Akhirnya, berita
yang dikirimkan disiasati lebih
singkat dan pendek.
Detikcom melakukan revolusi cara pandang orangmengenai jagad
maya, dan melecut demam internet diTanah Air pada pertengahan 1999—situs forum
interaksi sepantarannya adalah Kaskus. Ini mengundangkecemburuan banyak
konglomerat media yang me
rasa kecolongan, tidak memanfaatkan kesempatanemas di waktu
yang sulit itu. Lagi pula, membangunsebuah situs tidak perlu modal yang banyak,
sepertimendirikan pabrik. Beberapa perusahaan internet yangserius
didirikan—tentunya Anda masih ingat—seperti Satunet, Astaga!com. James Riyadi
pemilik Lippo Lifemembuat Lippo e-Net dan Lippostar. Adapula Mweb,Kopitime, dan
BolehNet. Bedanya, alumnialumni portal seangkatan dengan Detikcom, banyak yang
didirikan hanya untuk mendapatkan keuntungan sesaat.Investasi awal jorjoran
dengan menawarkan pelbagaifasilitas canggih berbiaya besar yang digratiskan
seperti
email, chatting, kirim pesan singkat (SMS) dan bahkanwebfax
gratis, untuk mengundang pengunjung. Setelahmencatat banyak hits, mereka
melepas kepemilikan di bursa saham untuk mendapatkan dana.
Dikepung oleh pemodal besar membuat Agrakompada akhirnya
melepas 15% kepemilikannya pada akhir1999. Setenar apa pun situs itu, rupanya
tidak mampu
membiayai berbagai peralatan mahal untuk bersaing,karena
pemasukan murni hanya mengandalkan iklan.Investor asal Hong Kong, Pacific Tech
membeli 15%saham itu seharga USD2 juta. Uang sebanyak ituberpuluh kali lipat
dari investasi awal Detikcom yang
hanya Rp 40 juta. Dana sebesar itu membuat Detikcomnervous
harus seberapa besar pendapatan yang diperolehkalau investasinya saja sudah
hampir menginjak belasan
juta dolar?
Akhirnya, diputuskan belanja teknologi
dikeluarkanseperlunya. Tenaga penjual iklan direkrut. Bahkan, iklandotcom lain
diterima, termasuk dari kompetitor! AwalJanuari 2000, Detikcom merilis email
gratis, chatting,ruang diskusi, dan menambah sejumlah kanal baru. Ciri
khas jurnalistik lebih dipertajam dengan serangkaiankerja
sama—di antaranya dengan organisasi kampusuntuk memasok berita di daerah.
Fasilitas SMS danwebfax gratis yang biaya operasinya mahal ditiadakan.Tidak ada
promosi miliaran rupiah. Tidak ada content
management system seharga ratusan ribu dolar,
tetapimengembangkannya sendiri. Langkah meniru nan hatihati itu akhirnya bisa
menyelamatkan.
Di awal milenium, krisis dotcom meledak di Amerika Serikat
(dikenal dengan dotcom bubble).Sahamsaham perusahaan berbasis teknologi
amblas.Kekecewaan investor bahwa jaringan internet ternyatatidak mendatangkan
keuntungan seperti yang dijanjikanterbukti sudah oleh kiamat dotcom yang datang
lebihcepat. Dari sisi pendapatan, krisis dotcom tahun 2000telah menyebabkan
bukan hanya investor, melainkanbanyak pemasang iklan tidak lagi mempercayai
mediaberbasis internet. Satu per satu alumni portal yangtumbuh setelah
reformasi gulung tikar karena tidakmampu memiliki penggemar. Maka, mulai awl
2001,
situssitus milik para pengusaha besar itu kehabisanmodal
(cobalah ketik namanama situs yang dulupopuler itu, niscaya sekarang sudah
tidak ada).
Budiono dan kawankawan bertahan dengan modalpaspasan
setelah menutup kembali fasilitas “ikutikutan itu”. Detikcom masih memiliki
napas hasil menyisakan modal dan sedikit dari penghasilan iklan—Oktober2000
pendapatan iklan mereka mencapai lebih dari Rp500 juta. Berita yang tak banyak
pembacanya dan takme narik pemasang iklan dihentikan. Serangkaian bidangusaha
baru dirilis—memanfaatkan demam teknologi seluler yang mulai menjadikan
handphone seperti kacanggoreng, laris manis. Memasuki 2003, terlihat bahwa
dari beberapa bidang usaha baru, mobile data
(layananpengiriman berita melalui SMS) adalah yang palingcepat memberi hasil.
Selanjutnya, Detikcom melenggang sendirian tanpalawan.
Khalayak media mengacungkan jempol, lantaranmedia ini mungkin satusatunya yang
bisa bertahanpada era industri media yang mulai bergerak ke arahkonglomerasi.
Ada Kompas Gramedia, Media Group,Para Group, MNC, Jawa Pos Group, dan Visi
MediaAsia. Namun, yang terjadi pada akhirnya adalah raksasaraksasa ini justru
mengekor kepada semut. Kompas, me-reborn Kompas.comnya, MNC mendirikan
Okezone.com, Visi Media milik Grup Bakrie melahirkan Vivanews.com, Tempo Inti
Media mengaktifkan Tempointeraktif.co.id. Ini belum termasuk portal baru lain,
seperti Inilah.com, Wartaone.com, dan lainlain.
“Dulu pun kami menghadapi pemain dengan modalbesar, tapi
Detik bisa menghadapinya. Bisnis ini dibangundengan semangat jurnalistik, bukan
dengan uang danmodal,” kata Budiono menanggapi banyaknya portalberita yang
muncul.
Konon, seorang politisi pernah mendatangi Budionodi
kantornya dengan menawari sebuah koper berisiRp 300 miliar untuk Detikcom.
Budiono hanya berkata, “Datanglah ketika Anda sudah membawa tiga triliun!”
Daftar Pustaka :
http://infonet.id/sejarah-detik-com/
http://republikpos.com/2016/01/detikcom-hari-ini-dan-sejarahnya