Subscribe:

Sunday 29 April 2018

Pengelolaan WEB detikcom





Mungkin belum banyak yang tahu bahwa awalnya Detik.com merupakan proyek pribadi sebuah perusahaan penyedia jasa konsultasi, pengembangan, dan pengelolaan web bernama: Agranet Multicitra Siberkom (Agrakom). Perusahaan ini didirikan oleh Budiono Darsono bersama beberapa rekannya yang sebagian besar berlatar belakang Jurnalis, pada masa awal Agrakom berkantor di perkantoran Stadion Lebak Bulus. Pada tahun 1993 internet mulai menjamur di Indonesia dan Agrakom termasuk salah satu pelopor Industri konten IT yang menarget pasar Internet kala itu.

Namun, krisis moneter 1997 sempat membuat Agrakom terpuruk. Menghadapi kondisi tersebut, kemudian Budiono Darsono (eks Wartawan DeTik), Yayan Sofyan (eks Wartawan DeTik), Abdul Rahman (eks Wartawan Tempo) dan Didi Nugrahadi (tetangga rumah Budiono yang tinggal di Pamulan Tangerang) memutar otak mencari konsep jasa web baru yang tetap laku dalam situasi krisis. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membuat situs berita yang cepat terupdate dalam hitungan menit, bernama: Detik.com.

Ada ceita menggelikan yang senantiasa membang­gakan Budiono Darsono bila mengenang awal­awal merintis Detikcom. Adalah seorang komandan militer di Jakarta yang sangat membutuhkan berita terbaru di saat  kegentingan melanda Ibu Kota setelah Soeharto lengser.  “Coba tolong carikan detikcom, ada berita penting di  situ!” perintahnya kepada bawahan.

“Siap. Laksanakan Komandan,” jawab prajurit de­ngan sigap lalu lari terbirit­birit mencari detikcom. Disetiap perempatan jalan, dia berhenti dan menanyakankepada loper koran. “Ada Detikcom nggak?”

Prajurit itu memperoleh jawaban yang sama padasemua loper koran yang dijumpainya. “Tidak ada,”dan tidak tahu, apa itu Detikcom. Mungkin dipikirnyamedia yang diinginkan komandannya itu sangat laris,prajurit itu menuju agen koran, tetapi kemudian tetap
mendapatkan jawaban yang sama.

Setelah putus asa, prajurit itu kembali dengan tangan hampa dan melapor pada komandannya, “Lapor komandan, Detikcom habis!”

Ini adalah satu dari sekian banyak kisah lucu awal mula detikcom berdiri. Terjadi pasca tergulingnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada Mei 1998 yang menimbulkan kondisi genting, huru­hara dan rumor di mana­mana. Banyak orang waswas dan menunggu apa
yang akan terjadi dengan negara ini lewat berita­berita di media esok hari. Koran, majalah, tabloid, selebaran muncul bak cendawan di musim hujan. Pada saat itu, kata “internet” bagi kebanyakan orang memang lebih dekat pengertiannya ke “eternit”—plafon atap rumah!.Sebaliknya, bagi sedikit orang yang melek teknologi, berita­berita pendek Detikcom terus dipantau.

Situs berita Detikcom awalnya adalah proyek pri­badi sebuah perusahaan penyedia jasa konsultasi, pe­ngem bangan, dan pengelolaan web, Agranet Multicitra Siberkom—disingkat Agrakom—untuk menghindari ke­ bangkrutan saat krisis ekonomi 1997. Agrakom, seperti
banyak perusahaan lain, juga menghadapi per soalan. Order jasa web site terhenti, sementara proyek­proyek e-commerce yang sudah di tangan ditunda oleh klien. Programmer-programmer bergaji mahal meng anggur. Padahal, Agrakom baru berdiri dua tahun dengan investasi lumayan serius pada Oktober 1995. Dia termasuk salah satu pelopor industri bermuatan teknologi tinggi yang menyasar kue internet yang mulai dikenal di Indonesia
pada 1993. Agrakom sempat beberapa kali mengecap manisnya kue bisnis itu dari beberapa klien besar seperti Kompas Gramedia yang meluncurkan Kompas Cyber Media untuk berita koran versi internet, dan sejumlah situs perusahaan seperti United Tractors, World Bank,
dan Ciputra Group. Tetapi krisis membuyarkan semua impian.

Pendirinya adalah sejumlah wartawan, Budiono Darsono (eks wartawan DeTik), Yayan Sopyan (eks wartawan DeTik), Abdul Rahman (mantan wartawan Tempo), dan Didi Nugrahadi (bukan wartawan, tetapi Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para tetangga rumah Budiono yang tinggal di Pamulang, Tangerang). Empat sekawan ini berpikir keras mencari konsep jasa web baru yang tetap laku dalam situasi krisis. Ada cerita lain, bahwa ide ini sebetulnya adalah paket layanan baru dan pernah ditawarkan kepada salah satu penerbit koran besar, namun ditolak. Klien itu justru menyarankan agar Budiono dan kawan­kawannya
menggarapnya sendiri.

Dari serangkaian pertemuan, nongkrong di berbagaitempat, akhirnya konsep itu ditemukan. Yaitu sebuah media yang 100% berbasis internet dan memanfaatkan semaksimal mungkin keunggulannya—tersedia setiap saat dan interaktif. Namun, gagasan ini masih prematur,
karena Budiono dan kawan­kawan masih bingung se­perti apa wujudnya.

Terdapat beberapa alternatif matang dan tinggal  menjiplak saja. Misalnya memanfaatkan pengetahuan umum netter—pengguna internet—lokal yang ketika membuka internet, pastinya menuju halaman Yahoo!, atau sekadar email­email gratisan lain. Akan tetapi, pi­lihan yang ada itu sama sekali tidak mungkin dilakukan, lantaran empat sekawan ini sebetulnya lebih unggul di­ bidang jurnalistik daripada teknologi. Mungkin insting jurnalistiklah yang kemudian menyadarkan mereka ada potensi besar dari sebuah teknologi world wide web yang dikawinkan dengan berita­berita. Mereka berkesimpulan harus menawarkan sesuatu yang tak ada di tempat lain, yang khas Indonesia. Pilihannya jatuh kepada situs yang menyediakan berita­berita hebat, susul­menyusul dalam hitungan detik, bukan lagi harian seperti koran. Budiono sangat yakin orang­orang sedang membutuhkan berita macam begini. Gagasan itu sepertinya mencontek gaya breaking news televisi CNN tetapi ala internet. Sama juga seperti Yahoo! yang sebetulnya sudah memakai konsep itu dengan berita update langganan dari pelbagai kantor berita. Sayangnya, mesin pencari ini masih berbahasa Inggris. Berapa sih yang menguasai bahasa Inggris di Indonesia?



Bagaimana Detik.com mencari berita ?



Budiono mengaku mulanya adalah gampang­gam­pang susah. Dari sisi keunikan memang unik. Jangankan  di Indonesia, di seluruh dunia pun waktu itu tidak ada portal macam itu, kata dia. Mula­mula, Budiono menjabat sebagai pemimpin redaksi sekaligus reporter
dengan satu tape recorder. Lalu merekrut beberapa reporter, sembari rajin menelepon bekas teman­teman wartawan di media lain untuk ‘menyumbang’ berita. Beritanya tidak panjang­panjang, cukup sepenggal saja. Orang yang sering ‘diteror’ Budiono adalah A Sapto
Anggoro, redaktur di harian Republika, yang kerap memberi info baru di lapangan kepadanya. Tidak lama,Sapto justru keluar dari koran itu dan bergabung—sekarang tercantum sebagai dewan redaksi Detikcom.Delapan hari setelah Soeharto lengser, 30 Mei 1998,server Detikcom sudah siap diakses, namun baru mulaion line dengan sajian lengkap pada 9 Juli 1998. Berita­beritanya segar, anyar, dan terus­menerus diperbaruidalam hitungan detik—itulah mengapa dipakai namaDetik. Desain website berbalut warna khas yang agak
norak, hijau, biru, dan kuning. Warna ini sampai seka­rang dipertahankan sebagai trademark. Baru sebulan,ada sekitar 15.000 hits alias yang mengkli situs baruitu. Perkiraan itu akhirnya terbukti karena dalam waktusingkat Detikcom menjadi sangat dicari. Satu tahunkemudian, jumlah pengunjungnya meledak hingga50.000 orang per hari—sebuah pencapaian luar biasa
menimbang pengguna internet yang baru sedikit saat itu.

Banyak cerita yang mengungkapkan betapa sulitnyapara wartawan Detikcom menyajikan berita­berita itutepat waktu itu. Belum ada gadget macam blackberry,atau smarthphone yang bisa mengirimkan email beritadengan sekali pencet. Telepon genggam (handphone), Bagian 2 – Orang-Orang Spesial; Para Pionir apalagi PDA dan smartphone 11 tahun yang lalu amat mahal, dan terbatas. Satu­satunya jalan adalahmemanfaatkan telepon umum dan setiap pagi para kulitinta Detikcom terlebih dulu diwajibkan untuk masukke kantor mengambil beberapa kantung uang recehan.Yang terjadi adalah antrean panjang telepon umum danpara wartawan itu sering kena omel para penggunatelepon. Akhirnya, berita yang dikirimkan disiasati lebih
singkat dan pendek.

Detikcom melakukan revolusi cara pandang orangmengenai jagad maya, dan melecut demam internet diTanah Air pada pertengahan 1999—situs forum inter­aksi sepantarannya adalah Kaskus. Ini mengundangkecemburuan banyak konglomerat media yang me­
rasa kecolongan, tidak memanfaatkan kesempatanemas di waktu yang sulit itu. Lagi pula, membangunsebuah situs tidak perlu modal yang banyak, sepertimendirikan pabrik. Beberapa perusahaan internet yangserius didirikan—tentunya Anda masih ingat—seperti Satunet, Astaga!com. James Riyadi pemilik Lippo Lifemembuat Lippo e-Net dan Lippostar. Adapula Mweb,Kopitime, dan BolehNet. Bedanya, alumni­alumni portal seangkatan dengan Detikcom, banyak yang didirikan hanya untuk mendapatkan keuntungan sesaat.Investasi awal jor­joran dengan menawarkan pelbagaifasilitas canggih berbiaya besar yang digratiskan seperti
email, chatting, kirim pesan singkat (SMS) dan bahkanwebfax gratis, untuk mengundang pengunjung. Setelahmencatat banyak hits, mereka melepas kepemilikan di bursa saham untuk mendapatkan dana.

Dikepung oleh pemodal besar membuat Agrakompada akhirnya melepas 15% kepemilikannya pada akhir1999. Setenar apa pun situs itu, rupanya tidak mampu
membiayai berbagai peralatan mahal untuk bersaing,karena pemasukan murni hanya mengandalkan iklan.Investor asal Hong Kong, Pacific Tech membeli 15%saham itu seharga USD2 juta. Uang sebanyak ituberpuluh kali lipat dari investasi awal Detikcom yang
hanya Rp 40 juta. Dana sebesar itu membuat Detikcomnervous harus seberapa besar pendapatan yang diperolehkalau investasinya saja sudah hampir menginjak belasan
juta dolar?

Akhirnya, diputuskan belanja teknologi dikeluarkanseperlunya. Tenaga penjual iklan direkrut. Bahkan, iklandotcom lain diterima, termasuk dari kompetitor! AwalJanuari 2000, Detikcom merilis email gratis, chatting,ruang diskusi, dan menambah sejumlah kanal baru. Ciri
khas jurnalistik lebih dipertajam dengan serangkaiankerja sama—di antaranya dengan organisasi kampusuntuk memasok berita di daerah. Fasilitas SMS danwebfax gratis yang biaya operasinya mahal ditiadakan.Tidak ada promosi miliaran rupiah. Tidak ada content
management system seharga ratusan ribu dolar, tetapimengembangkannya sendiri. Langkah meniru nan hati­hati itu akhirnya bisa menyelamatkan.

Di awal milenium, krisis dotcom meledak di Amerika Serikat (dikenal dengan dotcom bubble).Saham­saham perusahaan berbasis teknologi amblas.Kekecewaan investor bahwa jaringan internet ternyatatidak mendatangkan keuntungan seperti yang dijanjikanterbukti sudah oleh kiamat dotcom yang datang lebihcepat. Dari sisi pendapatan, krisis dotcom tahun 2000telah menyebabkan bukan hanya investor, melainkanbanyak pemasang iklan tidak lagi mempercayai mediaberbasis internet. Satu per satu alumni portal yangtumbuh setelah reformasi gulung tikar karena tidakmampu memiliki penggemar. Maka, mulai awl 2001,
situs­situs milik para pengusaha besar itu kehabisanmodal (cobalah ketik nama­nama situs yang dulupopuler itu, niscaya sekarang sudah tidak ada).

Budiono dan kawan­kawan bertahan dengan modalpas­pasan setelah menutup kembali fasilitas “ikut­ikutan itu”. Detikcom masih memiliki napas hasil menyisakan modal dan sedikit dari penghasilan iklan—Oktober2000 pendapatan iklan mereka mencapai lebih dari Rp500 juta. Berita yang tak banyak pembacanya dan takme narik pemasang iklan dihentikan. Serangkaian bidangusaha baru dirilis—memanfaatkan demam teknologi se­luler yang mulai menjadikan handphone seperti kacanggoreng, laris manis. Memasuki 2003, terlihat bahwa
dari beberapa bidang usaha baru, mobile data (layananpengiriman berita melalui SMS) adalah yang palingcepat memberi hasil.

Selanjutnya, Detikcom melenggang sendirian tanpalawan. Khalayak media mengacungkan jempol, lantaranmedia ini mungkin satu­satunya yang bisa bertahanpada era industri media yang mulai bergerak ke arahkonglomerasi. Ada Kompas Gramedia, Media Group,Para Group, MNC, Jawa Pos Group, dan Visi MediaAsia. Namun, yang terjadi pada akhirnya adalah raksasa­raksasa ini justru mengekor kepada semut. Kompas, me-reborn Kompas.com­nya, MNC mendirikan Okezone.com, Visi Media milik Grup Bakrie melahirkan Vivanews.com, Tempo Inti Media mengaktifkan Tempointeraktif.co.id. Ini belum termasuk portal baru lain, seperti Inilah.com, Wartaone.com, dan lain­lain.

“Dulu pun kami menghadapi pemain dengan modalbesar, tapi Detik bisa menghadapinya. Bisnis ini dibangundengan semangat jurnalistik, bukan dengan uang danmodal,” kata Budiono menanggapi banyaknya portalberita yang muncul.

Konon, seorang politisi pernah mendatangi Budionodi kantornya dengan menawari sebuah koper berisiRp 300 miliar untuk Detikcom. Budiono hanya ber­kata, “Datanglah ketika Anda sudah membawa tiga triliun!”



Daftar Pustaka :

http://infonet.id/sejarah-detik-com/

http://republikpos.com/2016/01/detikcom-hari-ini-dan-sejarahnya